LadyBird Journal – Dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional, lebih dari sepuluh kota besar di Indonesia mengadakan aksi Women’s March. Tahun 2017, Women’s March hanya di lakukan di Jakarta saja, namun juga Women’s March 2018 Bandung terlaksana. Women’s March adalah sebuah aksi unjuk rasa yang mengundang semua lapisan masyarakat, tidak melihat latar belakang, gender, orientasi seksual, agama, kelas, ras, suku etnis, ataupun kewarganegaraan, untuk pawai (march) dari titik awal ke akhir. Aksi ini bertujuan untuk mengungkapkan solidaritas terhadap perempuan dan mengangkat isu-isu perempuan.
Women’s March Bandung dilaksanakan hari Minggu, tanggal 4 Maret 2018. Saya terharu melihat banyaknya orang yang berkenan menjadi relawan, tidak dibayar sepeser pun, untuk kegiatan ini. Membuktikan banyak yang peduli dengan isu perempuan. Sebulan penuh kami semua sibuk dengan persiapan. Bahkan sebelum hari-H pun kami mengadakan banyak pra-event: workshop reksadana dan creative writing untuk perempuan, workshop yoga, aksi tarian anti kekerasan, dan tiga diskusi terbuka.
Ketika pelaksanaan di hari-H, panitia sudah stand-by di titik awal di Jalan Dago sejak subuh, dan jam 8 pagi peserta pawai sudah mulai berdatangan. Sebelum dimulai, kordinator lapangan (korlap) membagikan selembaran bertuliskan nyanyian-nyanyian dan yel-yel kepada para peserta. Dengan menggunakan megaphone ia mulai memandu kekompakan seluruh peserta. Jam 9 kami mulai berjalan menyusuri Jalan Dago, menuju perempatan Dukomsel. Kami berkumpul membentuk lingkaran di tengah persimpangan jalan. Ada sekitar 300 peserta, dan kami semua menghadap ke semua arah jalan. Dengan nada “Indonesia Pusaka”, kami bernyanyi bersama:
Indonesia tanah air siapa?
Katanya tanah air beta
Indonesia sejak dulu kala
Jadi boneka pengusaha
Disini demonstran berdiri
Petani dirampas tanahnya
Upah buruh selamanya murah
Kaum transpuan dikucilkan
Momen itulah dimana saya, dan banyak peserta lainnya, mulai menitikkan air mata. Kami semua tetap bernyanyi bersama-sama dengan kompak, tanpa menghiraukan pengendara yang terus mengklakson kami dan yang marah-marah kepada kami. Rasa solidaritas diantara kami semua benar-benar kuat dan mengharukan.
Teruslah kami jalan menuju titik akhir di Gedung Sate. Disana peserta dipersilahkan untuk orasi dengan megaphone. Sebuah momen yang menyentuh, karena ternyata hampir semua perempuan dari berbagai latar belakang dan komunitas ingin menyampaikan pesan. Perwakilan perempuan dari komunitas buruh, petani, disabilitas, penggusuran, semua bergiliran orasi dengan isu perempuan di komunitasnya masing-masing, membuktikan bahwa isu perempuan sendiri sangat lintas sektor dan ada di segala lapisan masyarakat.
Kegiatan Women’s March 2018 Bandung diakhiri dengan pertunjukan seni oleh perempuan, dan tarian anti kekerasan terhadap perempuan. Sebuah pengalaman yang saya tak akan lupa, memberikan saya makna yang dalam akan istilah sisterhood, dan membawa saya kepada diri perempuan saya yang lebih berdaya dari sebelumnya.
Gambar: Instagram @womensmarchbdg